Aku sudah pernah menghadapi kematian orang terkasih yaitu orang tuaku, bapakku. Aku belum pernah menghadapi kematian saudara kandung. Diriku dengan umurku yang sudah cukup dewasa ini saja, 3 tahun yang lalu menghadapi kematian masih sangat berat.
Bagaimana dengan kakaknya adik Hisyam tersebut.
Diumur segitu menghadapi kematian adiknya.
Perasaan campur aduk tidak terduga.
Rasa bersalah yang teramat sangat.
Antara dunia nyata atau hanya ilusi.
Pertanyaan-pertanyaan kenapa menyeruak.
Kenapa tidak bisa menolong kenapa tidak bisa melindungi, kenapa sebagai kakak aku tidak ada waktu kejadian itu dan sebagainya. Menghadapi sendiri kematian adiknya di depan matanya.
Terlebih dengan ibunya di rumah Lampung sana terpaut jauh lokasinya.
Stop, aku tidak ingin meneruskan tulisan bayangan tersebut.
Pada waktu menghadapi kematian bapakku, selang beberapa hari setelahnya, aku pernah menanyakan perasaan yang aku alami pada temanku yang ayahnya juga meninggal sewaktu kami KKN dulu. Dan dia mengiyakan gambaran perasaanku tersebut, sama seperti yang dirasakannya sewaktu menyadari ayahnya telah meninggal. Gambaran perasaan yang kurasakan seperti hati itu rasanya mempunyai lubang yang sangat besar, sangat dalam, dan tak berdasar. Waktu itu aku belum pernah merasakan kesedihan teramat sangat selama hidupku sebelum-sebelumnya, bahkan setelahnya sampai saat ini. Seperti kesedihan-kesedihan yang aku alami sebelumnya itu tampak kecil. Kegagalan-kegagalanku tentang dunia sebelum-sebelumnya itu tampak kecil.
Diingetin lagi kan Hanum, saat akhir-akhir ini hati terasa tampak bisa mengatur dunia. Allah ngingetin lagi kan untuk membersihkan hati.
Aku percaya Allah sangat baik padamu Adik Hisyam, Allah akan menempatkanmu disisiNya yang terbaik. Kamu sudah kembali kepadaNya. Pada akhirnya kami yang di dunia ini nanti juga akan kembali kepadaNya. Semua hanya menunggu waktu.
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar