11 Oktober 2023

Secure Attachment

Ngomong-ngomong tentang Lia di post yang kemarin, aku jadi inget pembahasan Girl Talk beberapa minggu lalu sebelum nonton PetSher 2. Ada pembahasan menariiik banget bahkan sampai aku coba kulik lebih dalam lagi setelah pulangnya. Okay mari kita coba bahas disini ya..

Jadi waktu itu awalnya kami sedang membahas reels viral Daniel Mananta yang cerita tentang pengalamannya menemukan sekolah internasional yang diduga mendukung LGBT. Daaaaan ternyata aku baru tau itu video cuplikan dari video lengkap interviewnya dengan Prof. Quraish Shihab yang bahkan sampai ada 6 Part! kemana aja kamu Hanum masih belum nonton full videonya sampai sekarang! Oke mari kita nonton nanti setelah pembahasan ini yah. Dari video tersebut Daniel menceritakan bahwa pada saat mencari sekolah untuk putrinya, dia cukup kaget dengan temuan di salah satu sekolah, yaitu toilet yang dibedakan menjadi 3 jenis untuk perempuan, laki-laki, dan gender neutral. Hal tersebut mengagetkan Daniel karena tidak menyangka untuk sekolah internasional tersebut cukup terbuka dengan yang dinamakan 'Woke Agenda'. 


Jadi apa itu Woke Agenda? 

Menurut Daniel pada penjelasan video di atas, Woke Agenda adalah agenda yang digunakan untuk merujuk pada gerakan atau sikap yang bertujuan mendukung hak-hak LGBT+ yang sudah mulai meluas diterima di dunia barat, bahkan mengarah 'keharusan'. Agenda ini diharuskan ikut dalam setiap pembahasan yang berhubungan dengan pemenuhan hak-hak rakyatnya. Sebagai contoh misal memasukkan pemahaman gender neutral ke film-film kartun anak yang seharusnya temanya keluarga, pada buku-buku pendidikan, dan sejenisnya. Dalam woke agenda ini biasanya ditekankan untuk lebih mementingkan feeling atau perasaan daripada kebenaran, sehingga tidak mempedulikan bahwa perasaaan itu apakah benar atau salah, sesuai norma-norma apa tidak, perlu atau tidak untuk diikuti atau disetujui dan kemudian dijadikan pegangan diri. 

Daniel menyampaikan pandangannya bahwa cukup memprihatinkan dan sangat tidak setuju saat agenda ini sudah sampai menyusup ke ranah anak-anak kecil di bawah umur 18 tahun, yang dimana menurut Daniel pada umur tersebut anak-anak cenderung masih belum stabil dan sedang dalam pencarian jati diri. Daniel bersyukur jika video reels cuplikannya viral, karena menurutnya malah justru bagus sehingga kepedulian masyarakat terutama para orang tua tentang isu ini bisa lebih meningkat. Karena menurut Daniel, untuk memerangi atau melawan woke agenda ini harus dilakukan mulai dari tingkat paling dasar yaitu rumah. Daniel menekankan bahwa dirinya sebagai seorang ayah memiliki tugas untuk melindungi anak-anaknya, mempunyai sebuah otoritas untuk memberi fondasi dan memberi tahu mana yang benar dan mana yang salah. Fondasi tersebut harus diajarkan dan dimulai dari rumah, dan bukan diberikan sepenuhnya kepada sekolah atau pihak-pihak dari luar. 

Dari penjelasan Daniel tersebut, aku dan Lia sangat sepakat dengan point of view Daniel, sangat memprihatinkan emang dengan fenomena tersebut, apalagi berarti sudah mulai masuk ke Indonesia. Dan aku sangat setuju dengan bahwa tidak bisa kita lebih mengunggulkan perasaan/feeling agar bisa lebih bebas dalam menentukan pilihan hidup kita dibandingkan kebenaran. Coba pikir, lha terus buat apa dong ada ilmu Psikologi? berabad-abad nenek moyang kita mempelajari ilmu Psikologi kalau bukan untuk mempelajari perasaan/feeling manusia itu? Pun perasaan/feeling itu kan juga muncul salah satunya dipengaruhi oleh hormon, jadi tidak hanya tentang kayak suatu wahyu atau pencerahan atau enlightment yang 'Ohiya nih kayaknya aku tuh merasa lebih nyaman menjadi laki-laki dibanding asliku perempuan’, dan sejenisnya. Sorry nih ya, kalau misal emang kamu merasa tidak nyaman itu kemungkinannya bisa banyak, bisa jadi dari faktor lingkungan, ketidakstabilan hormon pun bisa jadi dan memang ada penyakitnya misalnya PCOS (Polycystic Ovarian Syndrome) yang tanpa sadar cukup banyak dialami perempuan. Nah penomorsatuan feeling seperti itu yang mungkin bagi Daniel seharusnya tidak kemudian dijadikan pertimbangan pokok dalam menjalani hidup. Lagian buat apa juga coba ada buku panduan berjilid-jilid pegangan mahasiswa-mahasiswa psikolog namanya DSM (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders) yang digunakan untuk menentukan apakah orang ini mengidap penyakit/disorders mental jenis apa dilihat dari gejala-gejala yang muncul dan dirasakannya. Malah kayak kembali ke jaman sebelum ada pengetahuan sebenernya woke agenda ini. 

Nah kemudian kita ngomongin tentang ‘rumah’. Untuk membangun fondasi kepada anak-anak, 'rumah' seperti apa sih yang dimaksud? 'rumah' yang dalam kondisi bagaimana yang dapat memberikan fondasi seperti itu? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut aku jadi inget kalau pernyataan Daniel ini sama banget dengan pernyataan yang sering Bu dr. Aishah Dahlan katakan dalam video-video parenting atau kehidupan pernikahan nya yang akhir-akhir ini juga sering aku tonton. dr. Aishah Dahlan ini seorang dokter ahli rehabilitasi narkoba yang background dan kiprahnya sudah tidak diragukan lagi, ibunya ini yang dulu menangani proses rehab semua anggota Band Slank dan para fans fanatiknya. Bu Aishah sering mengatakan kalau penyebab utama dari anak-anak remaja bisa kena narkoba, pergaulan bebas, HIV/AIDS, dan sejenisnya itu biasanya karena anak tersebut tidak nyaman di rumah mereka sehingga kemudian mencari kenyamanan di luar. Padahal di luar rumah itu kalau kata Bu Aishah, lebih banyak ujiannya/hal-hal buruknya dibanding hal baik, jadi akhirnya anak menemukan kenyamanan dari lingkungan pergaulan yang tidak baik dan menyeret mereka ke hal-hal negatif. Rumah itu bisa menjadi tidak nyaman bagi anak-anak biasanya karena contohnya orang tua sering memarahi, membentak-bentak, tidak memperhatikan, tidak peduli, tidak mau mendengarkan anaknya, terlalu strict/kaku, dan lain-lain. Sehingga menyebabkan anak tidak nyaman untuk misal sekedar berbicara/curhat, apalagi mengungkapkan apa yang menjadi kegalauan/kemauan/kekhawatiran dan sejenisnya.

Nah kemudian coba pikir bagaimana kita mau memberikan fondasi kepada anak-anak kalau rumahnya saja tidak membuat mereka nyaman dan aman untuk sekedar berbicara mengungkapkan pendapat, atau bagaimana anak-anak tersebut bisa nyaman jika emosi mereka saja tidak divalidasi oleh orang-orang terdekat yang sangat diharapkan menjadi tumpuan utama dan pertama dalam dukungan emosional menjalani hidup mereka. Berartiiiii yang perlu dibangun terlebih dahulu adalah menciptakan rasa nyaman dalam rumah kan, kemudian bagaimana caranya? Tentu pelaku-pelaku di dalam rumah itu lah yang harus menciptakannya, yaitu orang tua.

Aku pernah baca ini menarik, jadi ada teori dalam psikologi parenting itu namanya Attachment Theory atau dalam bahasa indonesianya Teori Kelekatan. Jadi apa itu Teori Kelekatan? Sederhananya teori yang mempelajari tentang hubungan antara anak dan orang tua dengan tujuan untuk memberikan rasa aman, nyaman, dan terlindungi kepada anak waktu kecil, yang dimana hal itu nantinya sangat berpengaruh pada the child’s later social and emotional outcome. Orang tua dalam hidup seorang anak itu perlu memerankan banyak peran yaitu:


Parents play many different roles in the lives of their children, including teacher, playmate, disciplinarian, caregiver and attachment figure. Of all these roles, their role as an attachment figure is one of the most important in predicting the child’s later social and emotional outcome. 

Nah jadi salah satu peran orangtua yang dapat berpengaruh pada the child’s later social and emotional outcome itu peran mereka sebagai figur kelekatan (attachment figure) dan itu ternyata berbeda dengan peran orangtua sebagai pendisiplin, pendidik, penghibur, dan pengasuh.  

Attachment is one specific and circumscribed aspect of the relationship between a child and caregiver that is involved with making the child safe, secure and protected. The purpose of attachment is not to play with or entertain the child (this would be the role of the parent as a playmate), feed the child (this would be the role of the parent as a caregiver), set limits for the child (this would be the role of the parent as a disciplinarian) or teach the child new skills (this would be the role of the parent as a teacher). Attachment is where the child uses the primary caregiver as a secure base from which to explore and, when necessary, as a haven of safety and a source of comfort.

Kemudian pertanyaannya: attachment seperti apa yang dimaksud atau yang perlu dilakukan/berikan kepada anak? 

The quality of attachment that an infant develops with a specific caregiver is largely determined by the caregiver’s response to the infant when the infant’s attachment system is ‘activated’ (eg, when the infant’s feelings of safety and security are threatened, such as when he/she is ill, physically hurt or emotionally upset; particularly, frightened). Beginning at approximately six months of age, infants come to anticipate specific caregivers’ responses to their distress and shape their own behaviours accordingly (eg, developing strategies for dealing with distress when in the presence of that caregiver) based on daily interactions with their specific caregivers.

Nah jadi menurut penelitian, hasil dari attachment orang tua dan anak waktu infants dapat melahirkan beberapa jenis pola atau bagaimana hubungan sosial anak tersebut saat dewasa, yaitu secure, anxious-resistant, and avoidant. Di post ini aku akan coba menjelaskan yang secure attachment, sementara untuk yang lainnya mungkin next post dan juga bagaimana cara menangani atau istilahnya kayak 'menyembuhkan' hasil dari attachment (selain secure) jika sudah terjadi pada orang dewasa. 

Oke jadi Secure Attachment itu menurut beberapa artikel yang aku baca, dapat terbentuk saat jika infants mengalami distress/threatened (seperti yang dijelaskan di atas) kemudian secara konsisten direspon dengan baik in sensitive or loving ways oleh caregiver, semisal dengan kemudian langsung menggendong bayinya dan meyakinkannya bahwa dia secure, dan memvalidasi emosi negatif mereka sehingga bayi bisa dengan merasa aman untuk freely express their negative emotions. Nah perasaan aman yang secara konstan bayi atau anak ini dapatkan saat distress menyerang nantinya malah justru akan dapat membantu anak untuk secara organized (terorganisir) melatih meregulasi emosinya dengan baik. Anak yang merasa aman/secure cenderung percaya bahwa orang lain akan selalu ada untuknya karena pengalaman sebelumnya telah membawanya pada kesimpulan ini. Strategi tersebut dikatakan ‘terorganisir’ karena anak tahu secara pasti apa yang harus dilakukan jika ada caregiver yang peka dan tanggap, yaitu mendekati caregiver ketika mengalami tekanan. Anak yang merasa aman cenderung menjadi yang paling mampu menyesuaikan diri, dalam arti bahwa mereka relatif tangguh/resilient, mereka mudah bergaul dengan teman sebayanya, dan biasanya disukai. Nah pengalaman ini nantinya akan terefleksikan dalam kemampuan hubungan sosial mereka pada masa dewasanya karena memandang orang lain dengan keyakinan yang sudah dia dapatkan sebelumnya.  

Bisa dilihat pada paragraf penjelasan tentang the quality of attachment di atas yang ternyata sangat penting untuk dilakukan saat the beginning at approximately six months of age. Nah kenapa selama 6 bulan pertama hidup seorang bayi? dan apa dampaknya nanti? berikut ada penjelasannya.

During the first six months of life, promptly picking up a baby who is crying is associated with four major outcomes by the end of the first year of life. First, the baby cries less. Second, the baby has learned to self-soothe. Third, if the baby needs the caregiver to soothe him/her, the baby will respond more promptly. And finally, the caregiver who responded promptly and warmly most of the time (not all the time; nobody can respond ideally all of the time) to the baby’s cries, will have created secure, organized attachment with all of the associated benefits.

source picture: http://labs.psychology.illinois.edu/~rcfraley/attachment.htm# 

Nah selain itu, jadi ternyata caregiver yang dimaksud pada penjelasan di atas itu tidak hanya orang tua saja, walaupun memang orangtua adalah primary caregiver, tapiii caregiver ini adalah semua orang terdekat yang berinteraksi dengan infants atau anak-anak. Jadi misal kayak anak dimasukkan ke daycare gitu si pengasuhnya berperan sebagai caregiver, saat sekolah PAUD gitu si gurunya juga berperan sebagai caregiver, saat dititipkan tante atau neneknya gitu mereka juga perlu berperan sebagai caregiver yang dimaksud. Definisi ini sangattt mencerahkanku sih, karena aku jadi berpikir bahwa: Oh berarti sebenarnya tumbuh kembang anak manusia itu baik secara fisik, emosi, dan mental perlu disadari bahwa melibatkan semua pihak-pihak sekitarnya. 

Children develop a hierarchy of attachments with their various caregivers. For example, a child with three different caregivers (mother, father and nanny) will have a specific attachment relationship with each caregiver based on how that specific caregiver responds to the child in times when the child is physically hurt, ill or emotionally upset; particularly, when frightened. If the mother reacts in loving ways most of the time, the child will develop an organized and secure attachment with the mother. That same child could develop an organized, insecure and avoidant attachment with the father if the father reacts in rejecting ways to the child’s distress most of the time. That same child could develop a disorganized attachment with the nanny if the nanny displays atypical behaviours during interactions with the child and has unresolved mourning or trauma.

Dari penjelasan tersebut berarati sangat penting ternyata bagi orang tua itu selain menjadi primary caregiver yang baik, juga perlu memfasilitasi atau menyediakan atau mengadakan atau mengarahkan ke tempat-tempat yang dimana orang-orang didalamnya dapat menjadi caregiver yang dimaksud pada saat orang tua sedang tidak dapat menjadi caregiver. Jadi kayak pertimbangan pemilihan daycare, pemilihan nanny/babysitter, sekolah PAUD, TK, tempat ngaji, dan lain-lain itu pentinggg banget. Sehingga diharapkan dapat menciptakan kondisi yang mendukung dimana anak-anak dapat merasa secure dalam setiap tempat dan kondisi dimana mereka berada. Terlihat sangat ideal banget ya. Tapi gapapa, setidaknya menjadi pengetahuan yang penting untuk primary caregiversnya dulu sih menurutku, jadi menyadari bahwa sebagai orang tua itu harus menjadi caregiver yang seperti apa agar dapat provide security ke anak-anaknya. Aku sering juga mendengarkan teori atau istilah kelekatan (attachment) ini dalam video-video parentingnya Bu Elly Risman yang aku pernah tonton, seorang Psikolog Parenting dan Anak yang aku super ngefans becauze sering relate dengan kesimpulan-kesimpulan yang aku dapatkan selama bertahun-tahun jadi babysitter keponakan-keponakan, jadi kayak pas ibunya ngomong teori apa gitu aku terus langsung: ‘Iyaa benerr benerrr banget aku juga ngerasa gitu bu!’ atau ‘Oh ternyata kesimpulanku bener juga ya tentang harusnya menghadapi anak itu gini gitu dsb’. Pengeeen aku tuliskan di next post membahas tentang pelajaran-pelajaran yang aku dapatkan dari video-video Bu Elly Risman tersebut.

Sidenotes: Aku orangnya termasuk picky dalam memilih narasumber kajian-kajian dan video misal tentang parenting, ilmu agama, kesehatan, olahraga, dan sebagainya. Biasanya aku akan crosscheck  profil narasumbernya, apakah memang kompeten dalam bidangnya atau tidak, atau hanya gedhe-gedhean followers. Biasanya aku mengutamakan narasumber yang mempunyai background pendidikan yang sesuai dengan keahliannya, sehingga dapat mengurangi bias dan buang-buang waktu untuk pembahasan yang bukan memang dari ahlinya. 

Oke, setelah mendapat jawaban dari diskusi tersebut, ternyata masih ada lagi yang menjadi kekhawatiran bagiku dan Lia. Diawali dengan percakapan sebagai berikut: 

Aku: Tapi Li ada satu sih yang masih aku khawatirkan, karena aku merasa hal ini tuh mungkin menjadi keunggulan sekaligus bisa jadi kekuranganku kayaknya. 

Lia: Emang apa? 

Aku: Aku ngerasa aku tuh orangnya cukup versatile, kamu tauga maksutnya?

Lia: Apa itu?

Aku: Jadi versatile itu maksutnya kayak aku tuh cukup mampu bergaul atau beradaptasi dengan berbagai golongan berbagai tempat, dan cenderung tidak terlalu memperhatikan kayak misal kamu itu agamisss banget atau ternyata gay dan lain-lain.

Lia: Ohiya aku juga gitu, lingkungan pergaulanku diverse dan aku emang gapeduli sih dengan identitas personalnya mereka. 

Aku: Nah tapi jadi kekuranganku itu saat aku bingung nanti gimana ngajarin ke anak-anak buat saat misal mereka dipojokkan atau di-bully atau dipaksa, dan mereka harus stand up membela dirinya dan prinsip hidupnya itu caranya gimana yaa, aku masih gabisa bayangin gimana ngajarinnya Li, kayak: ‘Lha gimana orang ibunya aja gabisa’ Yagag sih? Kamu ngerasa gitu juga ga? jadi kayak ya oke kita bisa nih ngasih secure attachment dan lingkungan yang secure misal tapii di luar kan ga selalu secure.  

Lia: Ohh paham, iya sih aku juga gabisa bayangin gimana cara ngajarinnya, soalnya aku juga gitu, emang sih kalau selama ga ada urusannya denganku aku gamelawan dan emang cenderung menghindar. 

Aku: Kayak aku tuh gabisa yang confront langsung ke orang: 'eh kamu jangan gitu dong' dan sebagainya, aku gabisa liii :( 

Lia: Iya sama aku juga, biasanya yaudah cuma diem aja, walaupun dalam hati ya kesel juga.
 
Aku: Hmm, semakin berat ya kayaknya tantangan dalam membimbing anak ke depannya. 

Lia: Iya, banyak PR yang harus segera dikerjakan. Tapi num kamu aja belum nikah, nikah dululah wkwkwk

Aku: Iyaaa benerrr makanya PR ku lebih banyak ini :( wkwkwk 

Lia: Lha gimana kamu udah ada calon belum?

Aku: beluuum, gatauuu lii :( wkwkw

Lia: Lha kamu sih lalalalalalalala 
*kemudian dilanjutkan dengan percakapan yang tentunya tidak perlu dipublikasikan disini ya ehehehehe

Nah seperti itulah diskusi panjang lebar dari kami yang cukup menarik sekaligus jadi pengingat bahwa kemungkinan ke depan tantangan hidup akan semakin beragam, hal-hal baru seperti woke agenda kedepan sangat besar kemungkinan bermunculan. Fondasi agama, iman, tauhid, karakter, dan sifat yang perlu diajarkan ke generasi-generasi muda maupun yang akan datang yang dapat digunakan sebagai bekal menghadapinya harus mulai diajarkan pada skala paling dasar yaitu rumah. Perlunya menciptakan dan mengkondisikan 'rumah' yang nyaman dan aman bagi seluruh anggota keluarga sangat penting untuk dilakukan sedari awal berumah tangga. 

Sebenernya konsep secure ini hampir sama lho dengan konsep sakinah dalam kehidupan rumah tangga, kan definisinya hampir sama. Jadi inget penjelasannya Prof. Quraish dibukunya berjudul Perempuan tentang makna Sakinah. Aku tambahin sedikit ya, jadi dalam pandangan Al-Qur’an, salah satu tujuan utama pernikahan itu kan untuk menciptakan sakinah, mawaddah, dan rahmat antara setiap anggota keluarga (suami, istri, dan anak-anaknya). Kata sakinah terambil dari bahasa arab yang terdiri dari huruf-huruf sin, kaf, dan nun yang mengandung makna ketenangan atau antonim dari kegoncangan dan pergerakan. Berbagai bentuk kata yang terdiri dari ketiga huruf tersebut kesemuanya akan bermuara pada makna ketenangan. Pakar-pakar bahasa juga menegaskan bahwa kata itu tidak digunakan kecuali untuk menggambarkan ketenangan dan ketentraman setelah sebelumnya ada gejolak. Nah rumah itu sendiri dalam bahasa arab dinamai maskan yang juga terbentuk dari ketiga kata tersebut karena rumah dianggap sebagai tempat untuk meraih ketenangan setelah penghuninya bergerak, bahkan boleh jadi mengalami kegoncangan di luar rumah. Bisa lebih panjang lagi penjelasan tentang Sakinah ini sebenernya dan ternyata sangat relate sekali dengan secure attachment ini setelah aku baca ulang di bukunya Prof. Quraish. Coba next post ya. 
*next post next post mulu perasaan, padahal draft lain yang belum selesai aja masih buanyaak :( jangan suka janji-janji palsu deh Hanum. 
Yaah gimanaa, maafkan aku pembaca-pembaca setia blogku :(

Okeeh sekian dan demikian, btw panjang banget ya post ini, terimakasih sudah membaca! :)


References:

Benoit D. Infant-parent attachment: Definition, types, antecedents, measurement and outcome. Paediatr Child Health. 2004 Oct;9(8):541-545. doi: 10.1093/pch/9.8.541. PMID: 19680481; PMCID: PMC2724160. (https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2724160/#b1-pch09541

Adult Attachment Theory and Research: A Brief Overview by R. Chris Fraley


Tidak ada komentar:

Posting Komentar