Post ini saya buat dalam rangka janji saya dengan seorang teman, Chandra , janjinya yaitu 7 Days Qur'an Challenge, berhubung 2 post sebelumnya bisa menjadi #7daysQur'anChallenge juga maka tinggal 5 post Qur'an Challenge lagi yang harus saya penuhi. Beberapa pos kedepan mungkin akan banyak saya tulis topiknya masih seputaran tentang Perempuan dalam Islam, berhubung punya beberapa buku yang berkaitan dengan perempuan hehe. Dalam pos ini saya akan menuliskan pemahaman saya tentang Harakah dan Kemandirian Perempuan dari referensi buku berjudul 'Perempuan' karya M. Quraish Shihab.
'Akan dirahmati Allah, siapa yang mengetahui kadar dirinya'
Kesuksesan seseorang salah satu faktornya adalah pandangan yang bersangkutan tentang dirinya, yakni harakah dan martabatnya. Seseorang yang menilai dirinya melebihi kadarnya akan bersikap angkuh dan cenderung meremehkan orang lain, demikian pula yang rendah diri akan selalu merasa tidak mampu kemudian menyerah sebelum berjuang. Yang lebih parah bila seseorang tidak mengetahui kadar dirinya.
Perempuan seringkali diperlakukan secara tidak wajar, baik karena tidak mengetahui kadar dirinya maupun mengetahuinya tetapi terpaksa menerima pelecehan. Hal ini sudah terjadi sejak dulu bahkan pada zaman Yunani Kuno yang ketika itu perempuan hanya dipandang rendah sebagai alat peneurs generasi dan semacam pembantu rumah tangga serta pelepas nafsu seksual sehingga perzinaan sangat merajalela. Sejarah mencatat betapa suatu ketika perempuan dinilai sebagai makhluk kelas dua. Dalam masyarakat Hindu yang menganut ajaran Manu dinyatakan bahwa istri harus mengabdi kepada suaminya bagaikan mengabdi kepada Tuhan, harus berjalan dibelakangnya, tidak boleh berbicara, makan bersama dan jika ingin makan harus makanan sisa. Bahkan sampai abad ke-17, seorang istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat suaminya dibakar atau kalau ingin tetap hidup sang istri harus mencukur rambutnya dan memperburuk wajahnya agar terjamin tidak ada lelaki yang minat.
Kendati Eropa telah mengalami revolusi industri, walaupun perbudakan telah dihapuskan, harakah dan martabat perempuan belum juga mendapat tempat yang wajar. Mereka bekerja di pabrik-pabrik dengan gaji yang lebih rendah daripada lelaki untuk pekerjaan dengan tenaga yang sama atau bahkan lebih. Perempuan zaman dulu juga dinilai tidak wajar mendapat pendidikan, pelajaran maupun pelatihan keterampilan.
Ada lagi yang berpendapat bahwa pembedaan harakah dan peran antara lelaki dan perempuan yang ada di masyarakat lebih banyak diakibatkan oleh budaya serta pandangan agama dan kepercayaan masyarakat. Agama seringkali dijadikan dalih untuk pandangan negatif tersebut. Interpretasi yang diberikan oleh pakar agama lahir dari padangan masa lampau yang keliru dan telah melekat dalam benak para penafsir masa lalu. Padahal kalau merujuk ke Al-Qur'an, kita tidak akan menemukan dasar dari supperioritas dari satu jenis yang lain.
Beberapa akhir tahun ini semakin banyak perempuan yang menunjukkan eksistensinya, membuktikan bahwa mereka dapat memiliki kesempatan, bahkan mencapai prestasi yang sama dengan lelaki. Karena itu hal yang amat penting untuk disadari oleh semua pihak, terlebih perempuan sendiri, bahwa harakah dan martabat mereka sama sekali tidaklah berbeda dengan lelaki. Penekanan ini perlu karena sebagian kita tidak menyadari hal tersebut dan menduga agama yang menetapkan adanya perbedaan martabat itu.
Kemandirian perempuan mengharuskannya tampil sebagai perempuan dan bangga dengan identitasnya. Kemandiriannya tidak boleh lebur sehingga menjadikannya sebagai lelaki, dan tidak juga menjadikan mereka harus mengalah dengan mengorbankan kepentingannya sebagai perempuan yang memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan lelaki. Kemandirian menjadikannya berkewajiban menolak setiap upaya yang bermaksud mengeksploitasi keunggulannya sebagai perempuan(tubuh dan kecantikannya) untuk tujuan-tujuan yang bertentangan dengan kehormatannya sebagai manusia dan sebagai perempuan.
Di sisi lain, jika merujuk kepada Kitab suci Al Qur'an, ditemukan citra perempuan yang terpuji adalah yang memiliki kemandirian yang menjadikannya memiliki hak berpolitik dan kritis terhadap apa yang dihadapinya. Dalam al-Qur'an dikisahkan anak-anak perempuan Nabi Syu'aib, yang ketika itu masih gadis-gadis rela bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup ayahnya yang telah tua (dalam QS al-Qashash:23). Bahkan al-Qur'an berbicara tentang perempuan yang menjadi penguasa tertinggi negara yang bijaksana dan patuh kepadanya sebagaimana tertulis dalam kisah ratu yang menduduki tahta negeri Saba' yang konon bernama Balqis (QS an-Naml: 29-44).
Al Qur'an menekankan bahwa
'Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajiban mereka menurut cara yang ma'ruf.' (QS Al Baqarah:228)
Penggalan ayat diatas merupakan pengumuman Al Qur'an menyangkut hak-hak perempuan. Didahulukannya kata hak mereka setelah itu baru kata kewajiban mereka merupakan penegasan tentang hak-hak tersebut, sekaligus menunjukkan betapa pentingnya hak itu diperhatikan apalagi ketika itu, pada beberapa suku masyarakat jahiliyah, perempuan hampir dikatakan tidak mempunyai hak sama sekali. Atas dasar hak inilah sehingga tidak sedikit perempuan pada masa Nabi Muhammad saw. yang cukup kritis dan 'berani' berdiskusi, bahkan menolak pendapat suaminya. Imam Bukhari meriwayatkan bahwa Umar Ibnu al-Khathab r.a. menceritakan:
''Kami suku Quraish (penduduk Mekah) tadinya mengalahkan istri-istri kami, tetapi ketika kami bertemu dengan al-Anshar (kaum Muslim penduduk kota Madinah), kami menemukan kaum perempuan (istri-istri) kami meniru adab(kelakuan) perempuan-perempuan al-Anshar. Aku bersuara keras terhadap istriku, lalu dia membantahku. Maka, aku tidak menerima hal tersebut. Dia lalu berkata: 'Mengapa engkau keberatan, padahal demi Allah, istri-istri Nabi saw. pun berdiskusi dan biasa menolak pendapat beliau, bahkan ada di antara mereka yang tidak mengajaknya berbicara sampai malam.' Hal ini mengagetkanku, dan aku berpikir bahwa rugi dan celakalah istri yang melakukan hal itu. Aku kemudian menuju Hafshah (anak Sayyidina Umar dan istri Nabi Muhammad saw.) dan bertanya kepadanya: 'Apakah salah seorang di antara kalian ada yang kesal dan marah terhadap Nabi saw. (sebagai suami) sampai sehari semalam?' Hafshah menjawab: 'Ya'."
Atas dasar apa yang dipaparkan di atas, untuk mewujudkan harakah dan kemandirian perempuan serta untuk memelihara hak-hak, kodrat, dan identitasnya, perempuan tidak hanya harus merasa diri setara dengan lelaki, tetapi lebih dari itu, perempuan harus membuktikan hal tersebut melalui kemampuannya dalam dunia nyata.
Demikianlah. Wa Allâh A'lam.
Terimakasih Semoga Bermanfaat :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar